Kamis, 03 Juli 2008

nilai kemanusiaan yang adil dan demokratis dalam kehidupan sosial bermasyarakat

-=MENU UTAMA=-
Home
Profil JCE
Profil Kang Jalal
Profil IJABI
Kursus & Kajian
Program Kegiatan
-=LAIN-LAIN=-
Download
Links
Pencarian
Mailing List
Buku Tamu
Kontak
-=KATALOG=-
Buku
DVD / VCD
-=GALLERY=-
Photo Gallery
Piagam/ Sertifikat

wellcome to kang jalal official web site - kangjalal@jalal-center.com

Cetak E-mail

PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK
DAN DASAR IDEOLOGI NEGARA



Dr. Abdul Hadi WM



Telah dijelaskan bahwa sila-sila dalam Pancasila berkaitan dengan berbagai system falsafah dan pandangan hidup yang berkembang dalam sejarah bangsa . Sila-sila tersebut saling terkait satu sama lain dan merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, bahkan saling menjelaskan. Karena itu apabila ditafsirkan secara benar akan menjelma sebagai suatu system falsafah yang sejalan dengan budaya bangsa. Sebagai dasar falsafah bangsa dan dasar ideology negara , Pancasila mengandung makna bahwa dalam setiap aspek kehidupan kebangsaan, kemasyarakatan dan kenegaraan harus berdasarkan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Orang Islam menerjemahkan Ketuhanan YME sebagai Tauhid.
Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 menyatakan: Pancasila seperti tercantum dalam Pembukaan UUD 45 merupakan sumber hukum yang berlaku di negara RI dan karena itu secara obyektif ia merupakan suatu pandangan hidup, kesadaran, cita-cita hukum, serta cia-cita moral yang luhur yang meliputi suasana kejiwaan bangsa . Sebagai dasar pandangan hidup bernegara dan sistem nilai kemasyarakatan, Pancasila mengandung 4 pokok pikiran, sebagai berikut:

1. Negara merupakan negara persatuan, yang bhinneka tunggal ika. Persatuan tidak berarti penyeragaman, tetapi mengakui kebhinnekaan yang mengacu pada nilai-nilai universal Ketuhanan, kemanusiaan, rasa keadilan dan seterusnya.

2. Negara Indonenesia didirikan dengan maksud mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat , dan berkewajiban pula mewujudkan kesejahteraan serta mencerdaskan kehidupan bangsa.

3. Negara didirikan di atas asas kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat tidak bisa dibangun hanya berdasarkan demokrasi di bidang politik. Demokrasi harus juga dilaksanakan di bidang ekonomi.

4. Negara didirikan di atas dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini mengandung arti bahwa negara menjunjung tinggi keberadaan agama-agama yang dianut bangsa .



Sistem Nilai

Dalam kuliah terdahulu telah dibicarakan hubungan sila pertama, kedua dan ketiga dalam PS dengan paham-paham keagamaan dan kemanusiaan, serta hubungannya dengan nasionalisme dan demokasi. Tampaklah di situ bahwa PS sebagai landasan ideologis berdirinya NKRI merupakan sekumpulan system nilai.



Sila ke-1: Katuhanan Yang Maha Esa. Nilai-nilai ketuhanan sebagaimana terkandung dalam agama-agama yang dianut bangsa mengandung nilai-nilai yang mengayomi, meliputi dan menjiwai keempat sila yang lain. Segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, termasuk moral penyelenggara negara, politik negara, pemerintahan negara dan peraturan perundang-undangan negera, kebebasan dan hak asasi warga negara harus dijiwai nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Demikian pula dengan nilai-nilai etis dalam sila pertama harus mendasari dan menjiwai nilai etis keempat sila yang lain.



Sila ke-2: Kemanusiaan yang adil dan beradab. Sila ini setidak-tidaknya memberi pengakuan bahwa manusia yang hidup di negeri ini dan merupakan warga yang sah di negeri ini diperlakukan secara adil dan beradab oleh penyelenggara negara, termasuk hak dan kebebasannya beragama. Kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung nilai bahwa suatu tindakan yang berhubungan dengan kehidupan bernagara dan bermasyarakat didasarkan atas sikap moral, kebajikan dan hasrat menjunjung tinggi martabat manusia, serta sejalan dengan norma-norma agama dan social yang teah berkembang dalam masyarakat sebelum munculnya negara. Ia juga mencakup perlindungan dan penghargaan terhadap budaya dan kebudayaan yang dikembangkan bangsa yang beragam etnik dan golongan.



Sila ke-3: Persatuan . Telah diuraikan. Lihat catatan kuliah terdahulu tentang nasionalisme dll.



Sila ke-4: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan didasari oleh sila Ketuhanan YME, Kemanusiaan yang adil dan beradab, serta Persatuan .

Dalam sila ini terkandung nilai demokrasi: (1) Adanya kebebasan yang disertai tanggung jawab moral terhadap masyarakat, kemanusiaan dan Tuhan; (2) Menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia; (3) Menjamin dan memperkokoh persatuan dan kesatuan dalam hidup bersama; (4) Mengakui perbedaan pandangan dan kepercayaan dari setiap individu, kelompok, suku dan agama, karena perbedaan merupakan kodrat bawaan manusia; (5) Mengakui adanya persaamaan yang melekat pada setiap manusia dst; (6) Mengarahkan perbedaan ke arah koeksistensi dan solidaritas kemanusiaan; (7) Menjunjung tinggi asas musyawarah dan mufakat; (8) Mewujudkan dan mendasarkan kehidupan berdasarkan keadilan social.



Sila ke-5: Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat .

Keadilan social yang dimaksud harus didasarkan pada empat sila sebelumnya. Keadilan di sini lantas mencakup tiga bentuk keadilan: (1) Keadilan distributif: menyangkut hubungan negara terhadap warganegara, berarti bahwa negaralah yang wajib memenuhi keadilan dalam membagi kemakmuran, kesejahteraaan penghasilan negara, yang terakhir ini dalam bentuk bantuan, subsidi dan kesempatan untuk hidup bersama yang didasarkan atas hak dan kewajiban yang setara dan seimbang; (2) Keadilan legal, yaitu keadilan dalam kaitannya dengan hak dan kewajiban warganegara terhadap negara, tercermin dalam bentuk ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam negara; (3) Keadilan komutatif: yaitu suatu hubungan keadilan antara warga dengan warga lainnya secara timbal balik.

Keadilan social tercermin bukan dalam kehidupan social dan pelaksanaan hukum oleh negara, tetapi juga dalam kehidupan ekonomi dan politik, serta lapangan kebudayaan dan pelaksanaan ajaran agama.


PS dan Etika Politik

Etika merupakan cabang falsafah dan sekaligus merupakan suatu cabang dari ilmu-ilmu kemanusiaan (humaniora). Sebagai cabang falsafah ia membahas sistem-sistem pemikiran yang mendasar tentang ajaran dan pandangan moral. Sebagai cabang ilmu ia membahas bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu. Etika sebagai ilmu dibagi dua, yaitu etika umum dan etika khusus. Etika umum membahas prinsip-prinsip umum yang berlaku bagi setiap tindakan manusia. Dalam falsafah Barat dan Timur, seperti di Cina dan , seperti dalam Islam, aliran-aliran pemikiran etika beranekaragam. Tetapi pada prinsipnya membicarakan asas-asas dari tindakan dan perbuatan manusia, serta system nilai apa yang terkandung di dalamnya.

Etika khusus dibagi menjadi dua yaitu etika individual dan etika sosial. Etika indvidual membahas kewajiban manusia terhadap dirinya sendiri dan dengan kepercayaan agama yang dianutnya serta panggilan nuraninya, kewajibannya dan tanggungjawabnya terhadap Tuhannya. Etika sosial di lain hal membahas kewajiban serta norma-norma social yang seharusnya dipatuhi dalam hubungan sesama manusia, masyarakat, bangsa dan negara.

Etika sosial meliputi cabang-cabang etika yang lebih khusus lagi seperti etika keluarga, etika profesi, etika bisnis, etika lingkungan, etika pendidikan, etika kedokteran, etika jurnalistik, etika seksual dan etika politik. Etika politik sebagai cabang dari etika sosial dengan demikian membahas kewajiban dan norma-norma dalam kehidupan politik, yaitu bagaimana seseorang dalam suatu masyarakat kenegaraan ( yang menganut system politik tertentu) berhubungan secara politik dengan orang atau kelompok masyarakat lain. Dalam melaksanakan hubungan politik itu seseorang harus mengetahui dan memahami norma-norma dan kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi.

Seperti cabang-cabang etika lain, etika politik meletakkan dasar fundamental manusia sebagai manusia, yaitu bahwa manusia pada hakikatnya itu merupakan individu dan anggota sosial sekaligus, merupakan pribadi merdeka dan makhluk Tuhan sekaligus. Manusia pada hakikatnya merupakan makhluk yang beradab dan berbudaya, yang tidak bisa hidup di luar adab dan budaya tertentu. Dalam etika politik, manusia dipandang sebagai subyek yang merdeka dalam dirinya sendiri dengan kepercayaan dan pandangan hidup yang dianutnya. Ukuran paling utama dalam etika politik ialah harkat dan martabat manusia.

Dengan demikian pengertian ‘politik’ yang dilekatkan kepada etika politik mengandung pengertian yang luas, bukan pengertian yang sempit seperti dibahas dalam ilmu politik.

Kata-kata politik, dari kata politics dalam bahasan Yunani, mempunyai arti khusus dalam ilmu politik. Ia dikenakan biasanya kepada anekaragam kegiatan dalam masyarakat berkenaan dengan system politik tertentu yang dianut oleh negara di mana suatu masyarakat atau bangsa itu hidup. Maka kegiatan politik selalu dihubungkan dengan kehidupan kenegaraan, pemerintahan, penentuan dan pelaksanaan kebijakan negara tentang berbagai hal menyangkut kepentingan publik, serta kegiatan-kegiatan lain dari berbagai lembaga sosial, partai politik dan organisasi keagamaan yang berkaitan langsung dengan kehidupan kemasyarakatan dan negara.

Di sini politik terutama dikaitkan dengan kegiatan yang menyangkut kepentingan publik dan tujuan-tujuan yang berhubungan dengan kehidupan publik. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa dalam ilmu politik, cakupan pengertian politik itu dibatasi pada konsep-konsep pokok yang berkaitan dengan negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijaksanaan (policy), pembagian (distribution) – misalnya distribusi kekuasaan – dan alokasi (allocation).

Tetapi dalam etika politik pengertian politik diperluas lagi, karena pokok persoalannya bukan sekadar negara, tetapi manusia secara keseluruhan sebagai makhuk individu dan sosial sekaligus, dan sebagai pribadi merdeka dan hamba Tuhan sekaligus. Dasar dari etika politik dalam memandang manusia sebagai zoon politicon (khewan berpolitik) ialah anthropologi falsafah atau anthropologi kefilsafatan.

Dalam anthropologi falsafah muncul dua aliran penting yang merupakan cikal-bakal lahirnya berbagai faham anthropologi falsafah dan kemasyarakatan. Dua paham atau aliran itu ialah invidualisme dan kolektivisme.

Individualisme merupakan cikal bakal faham liberalisme dalam politik dan kapitalisme liberal dalam ekonomi. Sedangkan kolektivisme merupakan cikal bakal daripada paham sosialisme dan komunisme. Dalam negara yang menganut paham liberalisme, setiap kehidupan masyarakat, dalam konteks bangsa dan negara, hak-hak dan kebebasan individu dijadikan dasar moral bagi kebijakan negara dalam berbagai aspek kehidupan. Yang diutamakan ialah kodrat manusia selaku individu dan pribadi merdeka, bukan manusia sebagai makhluk sosial dan sebagai makhluk Tuhan.

Sedangkan dalam dalam negara sosialis, kepentingan dan hak-hak masyarakat didahulukan. Kecuali dalam negara yang menganut paham komunis, dalam beberapa negara yang menganut paham sosialisme, hak-hak individu tidak sepenuhnya ditindas.

Dalam Islam, manusia selaku individu ditempatkan dalam konteks kebersamaan dan persaudaraan. Nilai-nilai bersama dan kebersamaan dijunjung tinggi justru untuk perkembangan individu. Pandangan Pancasila relatif sejalan dengan pandangan Islam. Tetapi dalam kehidupan yang menyangkut kepentingan bersama, khususnya di bidang social, politik dan kebudayaan, sudah selayaknya penekanan lebih ditumpukan pada kepentingan sosial di atas kepentingan individu-individu.

Tetapi dalam kenyataan manusia tidak bisa mengaktualisasikan diri kecuali dalam hubungannya dengan manusia lain atau dalam rangka kehidupan bersama dalam suatu masyarakat. Dalam kaitan inilah dikatakan sebagai “zoon politicon” atau hewan berpolitik, yaitu hewan yang punya keharusan berpolitik dalam rangka mengatur hubungannya dengan orang lain dalam berbagai bidang kehidupan, khususnya dalam bidang ekonomi, politik, perdagangan dan kemasyarakatan secara umum.

Dimensi politik dalam kehidupan manusia selaku makhluk sosial dengan demikian melekat dalam sifat kodrat manusia. Keperluannya untuk mengembangkan diri bersama dengan orang lain mendorongnya untuk membuat aturan-aturan kehidupan, norma-norma tertentu atau hukum-hukum tertentu yang dapat melindungi hak-hak moral. Untuk itu ia pun harus memenuhi kewajiban-kewajibannya sebagai tindak balas bagi hak-hak yang mesti diperoleh dan diperjuangkan.

Terbentuknya negara dengan hukum dan perlembagaannya adalah perkembangan lanjut dari hasrat manusia untuk hidup bersama dalam kehidupan yang terorganisir sedemikian rupa. Karena itu apa yang disebut dimensi politik dalam kehidupan mansia selalu berkaitan dengan kehidupan negara dan hukum. Melalui negara dan hukum manusia hidup bersama orang lain dalam tatanan yang secara normative didasarkan atas aturan-aturan dan hukum-hukum tertentu yang mesti dipatuhi. Di situ manusia sebagai individu atau anggota suatu kelompok masyarakat melakukan kegiatan-kegiatan hidupnya.

Dimensi politik memiliki dua segi: (1) Segi pengertian tentang tindakan dan perilaku politik; (2) Kehendak untuk melakukan tindakan dan kegiatan politik. Dua segi atau aspek dari dimensi politik ini senantiasa berhadapan dengan masalah moral. Manusia mengerti dan memahami tentang kejadian-kejadian yang berlangsung di sekitarnya dan mengerti pula akibat yang ditimbulkan oleh tindakan-tindakannya. Suatu akibat yang buruk dapat dihindari apabila ia memiliki kesadaran moral bahwa ia bertanggungjawab terhadap orang lain. Tetapi kesadaran saja tidak cukup. Ia harus memiliki kehendak yang kuat untuk mengaktualisasikan kesadaran moralnya.

Tetapi tidak semua manusia dapat melakukan tindakan berdasarkan pertimbangan moral dan akal pikiran. Banyak orang melakukan tindakan demi dorongan egonya semata-mata yang sering tidak masuk akal dan tidak bermoral. Untuk alasan itulah hukum diperlukan. Hukum di sini ikut berfungsi memberi pengertian lebih mendasar tentang tindakan yang baik dan buruk. Hukum berfungsi pula mengingatkan manusia akibat-akibat dari pelanggaran yang dilakukannya.

Hukum terdiri dari norma-norma bagi tindakan yang dapat dibenarkan dan tidak dapat dibenarkan. Tetapi hukum hanya bersifat normative, dan tidak dengan sendirinya menjamin masyarakat mentaatinya. Oleh karena itu yang secara efektif menentukan perilaku dan tindakan masyarakat ialah lembaga yag mempunyai kekuasaan untuk memaksakan kehendaknya, dan lembaga itu adalah negara. Hukum tanpa kekuasaan negara adalah sesuatu yang tidak bermakna, sebab hukum hanya bisa dilaksanakan dalam konteks kekuasaan negara atau lembaga hukum yang diberi wewenang oleh negara. Sebaliknya negara tidak bias berbuat apa-apa tanpa landasan hukum yang jelas dan disepakati bersama. Negara seperti halnya hukum memerlukan legitimasi. Legitimasi itu ada di tangan rakyat.

Etika politik membicarakan masalah-masalah yang berkaitan dengan obyek formal etika, yaitu tinjauan kehidupan politik berdasarkan prinsip-prinsip dasar etika. Obyek materialnya meliputi legitimasi negara, hukum, kekuasaan dan penilaian kritis terhadap legitimasi-legitimasi tersebut. Pancasila sebagai etika politik didasarkan atas sila-sila yang terkandung di dalamnya, yang nilai-nilainya telah dijelaskan.

Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, Pancasila sebagai etika politik menuntut agar kekuasaan dalam negara dijalankan sesuai dengan: (1); Asas legalitas atau legitimasi hukum, yaitu dijalankan sesuai dengan hukum yang berlaku dalam negara RI yang berdasarkan Pancasila; (2) Disahkan dan dijalankan secara demokkratis; (3) Dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip moral atau tidak bertentangan dengan moral. Muhammad Hatta mengatakan bahwa negara harus berdasarkan moral Ketuhanan dan moral kemanusiaan agar tidak terjerumus menjadi “negara kekuasaan” (machtsstaats).















Persatuan, Nasionalisme dan Sistem Ekonomi

Nasionalisme lahir pada permulaan abad ke-20 sebagai reaksi atau perlawanan terhadap kolonialisme Eropa/Belanda. Dalam kolonialisme terkandung tiga hal: (1) Politik dominasi dan hegemoni; (2) Eksploitasi ekonomi; (3) Penetrasi budaya. Karena itu nasionalisme mengandung tiga aspek penting:

1.Aspek politik. Nasionalisme bertujuan menghilangkan

dominasi politik bangsa asing dan menggantikannya dengan sistem pemerintahan yang berkedaulatan rakyat (lihat pidato-pidato Bung Karno, Hatta, dan pemimpin yang lain seperti Ruslan Abdulgani).

2. Aspek sosial ekonomi. Nasionalisme muncul untuk meng –

hentikan eksploitasi ekonomi asing dan membangun masyarakat baru yang bebas dari kemelaratan dan kesengsaraan.

3. Aspek budaya. Nasionalisme bertujuan menghidupkan kembali kepribadian bangsa yang harus diselaraskan dengan perubahan zaman. Ia tidak menolak pengaruh kebudayaan luar, tetapi dengan menyesuaikannya dengan pandangan hidup, sistem nilai dan gambaran dunia (worldview, Weltanschauung) bangsa . Juga tidak dimaksudkan untuk mengingkari kebhinnekaan yang telah sedia ada sebagai realitas sosial budaya dan realitas anthropologis bangsa .

Ketiga aspek tersebut tidak dapat dipisahkan dalam konteks nasionalisme Indonsia (pidato Ruslan Abdulgani dalam Sidang Konstituante 1957). Pandangan ini merujuk pada pidato Bung Karno (7 Mei 1953) di Universitas Indonesia, yang intinya ialah: Pertama, nasionalisme Indonesia bukan nasionalisme semit (chauvinism) tetapi nasionalisme yang mencerminkan perikemanusiaan (humanisme, internasionalisme); Kedua, kemerdekaan Indonesia tidak hanya bertujuan untuk menjadikan negara yang berdaulat secara politik dan ekonomi, tetapi juga mengembangkan kepribadian sendiri atau kebudayaan yang berpijak pada sistem nilai dan pandangan hidup bangsa Indonesia sendiri yang ‘bhinneka tunggal ika’. Budaya dan agama yang dianut bangsa merupakan sumber rujukan bagi terciptanya kepribadian bangsa .

Dalam pidatonya itu Bung Karno mengatakan bahwa nasionalisme Indonesia tampil dalam sejarahnya didorong oleh tiga faktor, yaitu “economische uitbuilding” (eksploitasi ekonomi yang dilakukan kolonialisme Belanda), “political frustratioen” (kekecewaan politik disebabkan dominasi kekuasaan asing, yaitu kolonial Belanda) dan “ hilangnya kebudayaan yang berkepribadian” disebabkan oleh sistem pendidikan dan tiadanya hak-hak budaya bagi masyarakat Indonesia untuk melindungi dan mengembangkan kebudayaannya. Yang pertama, menghendaki sistem ekonomi terpimpin sebagai tandingan ekonomi kapitalis yang menimbulkan “lexploitation de l’homme par l‘homme” (penindasan manusia atas manusia). Sedangkan kekecewaan politik menghendaki sistem pemerintahan yang didasarkan atas kedaulatan rakyat (demokrasi) dan bebas dari dominasi asing.

Harus ditambahkan di sini bahwa disebabkan oleh perjalanannya itu maka komponen yang membentuk gerakan kebangsaan di juga berbeda dengan komponen nasionalisme Eropa dan Amerika. Selain komponen agama dan kemajemukan etnik serta budaya, dalam nasionalisme terdapat komponen seperti Marxisme dan sosialisme, melengkapi komponen humanisme dan sejenisnya.


Nation dan Unsur-unsurnya

Ahli sejarah terkemuka Sartono Kartodirdjo mengemukakan bahwa yang disebut “nation” dalam konteks nasionalisme Indonesia ialah suatu konsep yang dialamatkan pada suatu suatu komunitas sebagai kesatuan kehidupan bersama, yang mencakup berbagai unsur yang berbeda dalam aspek etnis, kelas atau golongan sosial, sistem kepercayaan, kebudayaan, bahasa dan lain-lain sebagainya. Kesemuanya terintegrasikan dalam perkembangan sejarah sebagai kesatuan sistem politik berdasarkan solidaritas yang ditopang oleh kemauan politik bersama” (dalam “Nasionalisme, Lampau dan Kini” Seminar Tentang Nasionalisme 1983 di Yogyakarta).

Pengertian yang diberikan Sartono Kartodirdjo didasarkan pada perkembangan sejarah bangsa dan realitas sosial budayanya, serta berdasarkan berbagai pernyataan politik pemimpin sebelum kemerdekaan, seperti manifesto Perhimpunan dan Sumpah Pemuda 1928. Unsur-unsur nasionalisme mencakup hal-hal seperti berikut:

1. Kesatuan (unity) yang mentransformasikan hal-hal yang bhinneka menjadi seragam sebagai konsekwensi dari proses integrasi. Tetapi persatuan dan kesatuan tidak boleh disamakan dengan penyeragaman dan keseragaman.

2. Kebebasan (liberty) yang merupakan keniscayaan bagi negeri-negeri yang terjajah agar bebas dari dominasi asing secara politik dan eksploitasi ekonomi serta terbebas pula dari kebijakan yang menyebabkan hancurnya kebudayaan yang berkepribadian.

3. Kesamaan (equality) yang merupakan bagian implisit dari masyarakat demokratis dan merupakan sesuatu yang berlawanan dengan politik kolonial yang diskriminatif dan otoriter.

4. Kepribadian (identity) yang lenyap disebabkan ditiadakan dan dimarginalkan secara sistematis oleh pemerintah kolonial Belanda.

5. Pencapaian-pencapaian dalam sejarah yang memberikan inspirasi dan kebanggaan bagi suatu bangsa sehingga bangkit semangatnya untuk berjuang menegakkan kembali harga diri dan martabatnya di tengah bangsa-bangsa lain di dunia.




Catatan:
Persoalan mengenai hubungan nasionalisme dan agama (baca hubungan negara dan agama), khususnya Islam, mencuat ke permukaan pada awal tahun 1950an, setelah kembali menjadi Negara Kesatuan. Dalam pidatonya di Amuntai, Kalimantan Selaan 27 Januari 1953, Presiden Sukarno menyampaikan pernyataan yang mengejutkan. Ia menolak negara berdasarkan Islam, sebab jika negara RI didasarkan pada Islam maka beberapa wilayah akan melepaskan diri dari RI. Reaksi berdatangan dari beberapa partai dan ormas Islam (lihat Endang Saifuddin Anshari Piagam Jakarta. Hal. 68 – 90).

Perdebatan ini menjadi sengit dalam Sidang Konstituante 1955 –1959, terhenti dengan diumumkannya Dektrit Presiden 5 Juli 1959 dan pembubaran Konstituante. Penafsiran atas Pancasila menjadi monopoli penguasa sampai berakhirnya Orde Baru 1998.



Ekonomi Terpimpin

Istilah ‘ekonomi terpimpin’ dikemukakan oleh Bung Hatta. Ia merupakan konsekwensi dari nasionalisme yang timbul sebagai perlawanan menentang kolonialisme dan imperialisme. Dalam menancapkan kekuasaannya pemerintah kolonial Belanda menggunakan sistem kapitalisme perdagangan yang eksploitatif dan menjadikan sebagai perkebunan raksasa. Dengan itu rakyat dieksplotasi sebagai buruh perkebunan dengan gaji rendah, sedangkan pemerintah Belanda memperoleh keuntungan yang besar.

Menurut Bung Hatta ekonomi terpimpin adalah lawan dari ekonomi liberal yang melahirkan sistem kapitalisme. Semboyannya ialah ‘laissez faire’ (‘Biarkan saja’), artinya biarkan pasar bertindak bebas dalam membangun kehidupan ekonomi dan perdagangan. Ekonomi liberal menghendaki pemerintah tidak campur tanganm dalam perekonomian rakyat dengan membuat peraturan-peraturan ketat (regulasi) yang membatasi gerak bebas pasar.

Ekonomi terpimpin adalah sebaliknya. Pemerintah harus aktif bertindak dan memberlakukan peraturan terhadap perkembanan ekonomi dalam masyarakat agar rakyat tidak dieksploitasi, harga tidak dipermainkan dan dengan demikian tercapai keadilan sosial. Alasan mengapa ekonomi terpimpin dipandang sesuai dengan cita-cita nasionalisme ialah: Karena membiarkan perekonomian berjalan menurut permainan bebas dari tenaga-tenaga masyarakat berarti membiarkan yang lemah menjadi makanan yang kuat.

Ekonomi liberal bercita-cita memberikan kemakmuran dan kemerdekaan bagi semua orang, tetapi hasilnya menimbulkan pertentangan dan kesengsaraan. Yang kaya bertambah kaya, yang miskin bertambah melarat. Sebab kebebasan atau liberalisme yang disandang oleh sistem itu dalam kenyataan hanya dimiliki ioleh segolongan kecil orang (yaitu pemilik modal atau kapital) dan kepada mereka yang segelintir itu sajalah keuntungan dan kemakmuran berpihak, bukan kepada rakyat banyak.

Tetapi dalam sistem ekonomi terpimpin itu tedapat banyak aliran. Antara lain: (1) Ekonomi terpimpin menurut ideology komunisme; (2) Ekonomi terpimpin menurut pandangan sosialisme demokrasi; (3) Ekonomi terpimpin menurut solidaroisme; (4) Ekonomi Terpimpin menurut paham Kristen Sosialis;

(5) Ekonomi Terpimpin berdasar ajaran Islam; (6) Ekonomi Terpimpin berdasarkan pandangan demokrasi sosial.

Semua aliran ekonomi terpimpin ini menentang dasar-dasar individualisme, yang meletakkan buruk baik nasib masyarakat di tangan orang-orang yang mengemudikan kehidupan dan tindakan ekonomi. Ekonomi liberal berdasarkan pada individualisme. Individu (baca kepentingan individu) didahulukan dari masyarakat. Tetapi ekonomi terpimpin mendahulukan masyarakat dari individu. Sekalipun demikian di antara paham-paham ekonomi terpimpin itu ada yang menolak kolektivisnme, karena bagi mereka kolektivisme sebenarnya hanya berlaku dalam ideologi komunisme dan sosialisme.

Tetapi terdapat persamaan pula dari sistem ekonomi terpimpin yang berbeda-beda itu, yaitu: (1) Dalam hal menentang individualisme; (2) Dalam hal pemberian tempat yang istimewa kepada pemerintah untuk mengatur dan memimpin perekonomian negara. Perbedaan antara sistem-sistem itu berkenaan dengan seberapa besar campur tangan kekuasaan publik dan bagaimana coraknya campur tangan itu dalam perekonomian individu dan masyarakat. Ideologi komunisme menghendaki campur tangan besar dan menyeluruh dari pemerintah atau negara, sehingga individu ditindas. Sistem ekonomi kpmunis bersifat totaliter, dikuasai oleh negara.

Tetapi ekonomi terpimpin yang lebih sesuai dalam konteks nasionalisme ialah ekonomi bercorak sosialis, yang berkehendak melaksanakan cita-cita demokrasi ekonomi. Dengan diimbangi demokrasi ekonomi, maka demokrasi politik akan mengurangi sifat individualismenya yang kelewat besar dan tidak sesuai dengan asas-asas kolektivisme. Dalam sistem ekonomi terpimpin bercorak sosialis, campur tangan negara terbatas dan peranan individu tidak sepenuhnya dimusnahkan, hanya saja gerak mereka dibatasi dan diatur demi melindungi kepentingan masyarakat.

Menurut Lerner dalam bukunya The Economics of Control (1919), sistem eknomi terpimpin yang bercorak sosialis menggabungkan ke dalamnya unsure-unsur ekonomi kapitalis dan ekonomi kolektif. Liberalisme dan sosialisme, menurutnya, dapat didamaikan menjadi “Welfare economics” atau ekonomi kemakmuran. Masalah utamanya ialah bagaimana cara menguasai perekonomian untuk kemakmuran penduduknya secara luas. Ini dipraktekkan di AS dan beberapa negara Eropa, termasuk Skandinavia setelah Perang Dunia I (1918) bersamaan dengan runtuhnya kapitalisme liberal sebagai akibat dari peperangan.yang kejam dan bengis.

Dalam sistem ekonomi seperti itu ada tiga hal yang harus dilaksanakan: Pertama, segala sumber perekonomian yang ada harus dikerjakan supaya semua orang memperoleh pekerjaan; kedua, melaksanakan pembagian pendapatan yang adil, agar perbedaan atau jurang besar dalam pendapatan dan kekayaan antara yang kaya dan yang miskin dikurangi; ketiga, menghapuskan monopoli dan oligapoli dalam perekonomian, sebab keduanya melahirkan eksploitasi yang melampaui batas dan pemborosan ekonomi yang besar pula.

Tujuan ekonomi terpimpin dalam bidang demokrasi, menurut Hatta, ialah mencapai kemakmuran rakyat seluruhnya, dengan tiada menghilangkan kepribadian manusia. Masyarakat didahulukan, bukan individu. Tetapi manusia sebagai individu tidaklenyap sama sekali dalam kolektivitas. Secara umum cita-cita ekonomi terpimpin ialah: (1) Terbukanya lapangan kerja bagi masyarakat secara keseluruhan sehingga pengangguran dikurangi; (2) Adanya standar hidup yang baik bagi masyarakat secara keseluruhan; (3) Semakin berkurangnya ketidaksamaan ekonomi dengan memperrata kemakmuran; (4) Terciptanya keadilan sosial.







[ Back ]



-=BUKU=-

Slide Show Pict
-=NEWSFLASH=-
INFO KAJIAN

THE ROAD TO MUHAMMAD
Hari: Setiap Sabtu
Jam: 10.30 - 13.00
Tempat: ICC ( Islamic Cultural Center)
Jl. Buncit Raya Kav. 35 - Jakarta Selatan

------------------------------------------------------

KAJIAN ULUMUL QUR'AN
Hari: Setiap Kamis
Jam: 19.00 - 22.00
Tempat: Sekretariat IJABI
Jl. Puri Mutiara II No. 27B
Cilandak Barat - Jakarta Selatan

------------------------------------------------------

KAJIAN FIQH AHLULBAIT
Hari: Setiap Kamis
Jam: 15.30 - 17.30
Tempat: Sekretariat IJABI
Jl. Puri Mutiara II No. 27B
Cilandak Barat - Jakarta Selatan

------------------------------------------------------

KAJIAN PEMIKIRAN Dr. ALI SHARIATI
Hari: Setiap Rabu
Jam: 19.00 - 21.00
Tempat: Kampus STAIMI ( SekolahTinggi Agama Islam Madinatul 'Ilmi
Jl. Sawangan Raya Gg. Pakis atau Kampus Rangkapan Jaya Baru Pancoran Mas

-=ARSIP=-

* April, 2008
* March, 2008
* February, 2008
* January, 2008
* December, 2007
* November, 2007
* October, 2007
* September, 2007
* August, 2007
* July, 2007

Tidak ada komentar: